TIRANI KULTURAL ELIT TRADISI MINANGKABAU: Dari Kembali ke Nagari ke Revitalisasi Kerajaan Pagaruyung Pasca Orde Baru
Abstract
Tahun-tahun pasca keruntuhan Orde Baru di Sumatera Barat merupakan periode penting bagi “proyek kultural” kalangan elit tradisi Minangkabau. Pada satu sisi invensi kultural para elite bertujuan merevitalisasi adat Minangkabau, namun di sisi lain usaha itu menunjukan sebuah tirani kultural pada etnis lain yang tidak jarang telah menimbulkan serangkai konflik sosial. Makalah ini akan menjabarkan bagaimana proses invensi kultural para elit tradisi Minangkabau, dan apa dampak sosio-kultural dari proses tersebut. Dapat dijelaskan bahwa sepanjang periode Refromasi, para elite tradisi Minangkabau berhasil mengorganisasi berbagai usaha menempatkan adat Minangkabau sebagai identitas kultural utama masyarakat Sumatera Barat, meski pada saat bersamaan terdapat kelompok etnis, seperti Jawa, Sunda, Batak, Nias, turunan Tionghoa, dan Mentawai yang mendiami provinsi ini. Para elit tradisi mendesak pemerintah daerah mengeluarkan berbagai peraturan daerah tentang pembentukan ulang nagari sebagai pusat kehidupan kultural orang Minangkabau. Mereka memaksa pemerintah menyelenggarakan berbagai festival keminangkabauan, dan merevitalisasi peran sosio-kultural para keluarga-keluarga bangsawan Pagaruyung yang cuma mitos sebagai simbol eksistensi kerajaan Minangkabau, sekaligus kebanggaan masyarakat Sumatera Barat. Tirani kultural itu mendapat banyak dukungan dari aparatur pemerintah daerah di tingkat provinsi sampai kabupaten/kota Sumatera Barat.